IKLAN

Ahad, 21 Ogos 2011

Cerita Berkenaan Whirling Dervishes - 1


Putaran tubuh adalah tiruan alam raya, seperti planet-planet yang berputar

Tentang Whirling Dervishes

Diriwayatkan oleh Sulthan Awliya Quthubul Ghawts Mawlana Syaikh Muhammad Nazim Adil Al Qubrusi An Naqshabandi Al Haqqani yang diwakili oleh Mawlana Shaykh Muhammad Hisham Kabbani An Naqshbandi Al Haqqani Ar Rabbani. Pada suatu hari saat Sayyidina Rasulullah SAW khobah Jum'at, datanglah seorang Baduy Arab seraya bertanya kepada Sayyidina Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah SAW, kapankah kiamat itu datang?”. Sayyidina Rasulullah SAW tidak menjawab, Beliau hanya diam. Baduy Arab itu terus bertanya sampai 3 kali hingga Sayyidina Jibril a.s datang menghadap Sayyidina Rasulullah SAW dan berkata, “Tanyakanlah padanya apakah bekal yang dia bawa untuk menyambut hari kiamat itu?”. Lalu Sayyidina Rasulullah SAW menyampaikannya dan orang Baduy Arab itu menjawab, “Bukankah aku memiliki Cinta kepadaMu Ya Rasulullah SAW.” Dan Sayyidina Rasulullah berkata, “Cukuplah itu membuatmu berdekatan dengan orang yang kau cintai seperti dua jari yang berdekatan.”Dan seketika itu juga orang Baduy Arab itu pergi tanpa mengikuti sholat jum'at.


Shaykh Hisham Kabbani memperlihatkan bagaimana Sayyidina Abu Bakar Shiddiq Whirling
Saat mendengar percakapan itu, Sayyidina Abu Bakar Shiddiq RA(1) yang selama ini risau akan pertanyaan yang sama, bertanya kepada Sayyidina Rasulullah SAW, “Ya Sayyidina Rasulullah SAW, apakah cukup hanya dengan Cinta?”. Kemudian Sayyidina Rasulullah SAW menjawab, “Syarat yang utama adalah Cinta!”. Mendengar jawaban itu, hati Sayyidina Abu Bakar Shiddiq ra sangat gembira, begitu bahagia hingga ia mulai berputar dengan jubahnya. Gerakan memutar inilah yang kemudian dikembangkan oleh Mawlana Jalaluddin Rumi menjadi Whirling Dervishes. 

Lalu tarian ini kembali muncul beberapa abad setelahnya, yang dilakukan oleh Mawlana Jalaluddin Rumi, seorang sufi yang juga merasakan cinta yang hampir sama kepada gurunya Mawlana Syamsuddin At-tibrizi, atau Syams-i-Tabriz. kemudian tarian ini terus dikembangkan oleh Thariqat Mawlawiyah atau Mevlevi, yang kemudian menjadi seni yang dipertontonkan keseluruh dunia. 

Walaupun tarian ini mempunyai makna yang dalam dan esensi spiritual yang tinggi, namun dewasa ini, tarian ini pun sudah kehilangan maknanya, hanya menjadi penghias mata belaka. Tetapi karena sejarah dari tarian ini tidak sembarangan, maka akan selalu indah untuk dilihat. Oleh karena itu kami ingin mencoba menyingkap rahasia dan hakikat yang sebenarnya dari tarian ini. 

Islam adalah agama yang penuh dengan kedamaian. Dibuktikan dengan dari sekian banyaknya tradisi dan ajaran-ajaran –yang saat ini sudah mulai dilupakan dan ditinggalkan– salah satunya adalah tarian whirling dervish, tarian yang dilakukan Atas nama Cinta, Dengan Cinta dan Untuk membawa Cinta. 

Tarian Whirling Dervish dapat menarik siapa saja baik yang beragama islam atau yang tidak beragama islam. Karena Tarian ini memiliki keindahan putarannya yang dapat menyentuh kalbu lewat sentuhan spiritual yang tersirat di dalamnya. 
Di zaman sekarang, dimana islam sudah dianggap agama teroris, dan tidak lagi dipercaya sebagai agama pembawa kedamaian yang dibawa oleh Sayyidina Rasulullah Muhammad SAW. Penyelewengan ini memicu kami untuk menyingkap Hakekat dari agama yang penuh dengan Cinta Kasih ini, lewat berbagai jalan yang mampu membawa kedamaian dalam hati setiap manusia. Seperti islam yang tidak menyebar lewat satu jalan, namun banyak jalan, demikian pula dengan seni yang mengatasnamakan Cinta Illahi. 

Nama tarian itu adalah Mevlevi Sema Ceremony atau lebih akrab disebut Sema (dalam bahasa Arab berarti “mendengar”, atau jika diterapkan dalam definisi lebih luas adalah bergerak dalam suka cita sambil mendengarkan nada-nada musik sembari berputar-putar sesuai dengan arah putaran alam semesta). Di Barat, tarian ini lebih dikenal sebagai “Whirling Dervishes” atau para Darwis yang berputar, dan digolongkan sebagai divine dance.

Mevlevi Sema Ceremony juga telah dikukuhkan oleh UNESCO sebagai salah satu karya agung dalam tradisi lisan yang tak ternilai harganya. Rumi dan Whirling Dervishes: Adalah satu tarikan nafas, seperti halnya Rumi dan puisi-puisinya. Goethe menyebut Rumi sebagai The greatest mystic poet of the world.


Naqshbandi Haqqani Rabbani Whirling Dervishes

Tentang ketokohan Rumi, rasanya tak perlu dibahas lagi. Jika pengaruhnya masih demikian luas setelah 800 tahun kepergiannya, manusia ini tentu luar biasa. William Dalrymple menulis bahwa pada saat masyarakat AS dicekam horror Bin Laden, ternyata buku puisi terlaris sepanjang 90-an bukanlah karya-karya penulis besar AS semacam Robert Frost, Robert Lowell, tidak juga karya-karya klasik raksasa Eropa seperti Shakespeare, Homer, Dante; tetapi justru karya-karya Maulana Jalaluddin Rumi. Sedangkan Rumi sendiri “hanya” menyebut dirinya sebagai :

I am dust on the path of Muhammad, the chosen one..

Saat ini nama Rumi dikenal cukup baik di Barat. Bahkan beberapa komunitas disana telah membentuk semacam perkumpulan Sema, yang bertemu setiap minggu untuk berdiskusi dan menarikan Whirling Dervishes. Komunitas ini terdapat di beberapa Negara Eropa seperti Swiss, Jerman, Belanda, dan AS.

Apakah mereka muslim? Tentu saja ya, karena sebagian besar penari Whirling beragama islam. Komunitas ini menangkap ajaran Rumi atas nama kemanusiaan yang berketuhanan dan beragamakan cinta. Sufisme yang mereka anut menjadi semacam liberal Sufism, bukan dalam konteks ortodoksi & ortopraksi sufisme Islam. Bagi mereka, Rumi adalah sosok yang telah membuka mata hati mereka, bahwa manusia dengan seluruh peradabannya hanyalah setitik debu di hadapan Tuhan.

Senada dengan itu, kalangan Islam liberal juga kerap “mendewakan” Rumi sebagai sosok pluralis. Mereka mengikuti petuah para pendekar pluralisme, misalnya John Hick--seorang tokoh pluralisme agama--yang kerap mengutip kata-kata Rumi : “ Lampu-lampu itu berbeda, tapi cahayanya sama, datang dari sumber yang sama…”
Terkadang kata-kata dan argumen Rumi dipakai oleh kalangan Islam liberal untuk menambah hujjah(2) mereka bahwa pluralisme agama adalah sebuah keniscayaan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tentu saja hujjah ini dimaksudkan untuk melemahkan posisi argumen dari mereka yang berseberangan dengan para liberalis.

Sebaliknya, bagi mereka yang agak konservatif (selain pengikut salaf), kerap menuding cara pandang liberalis telah membajak karya Rumi untuk kepentingan ideologis mereka. Rumi dengan semua karyanya, hanya bisa dipahami di atas kerangka Al-Qur'an dan Hadist. Rumi yang telah dilucuti ke-Islam-annya adalah tak lebih dari Kahlil Gibran.

Samâ' bukanlah sembarang tarian, melainkan tarian yang memuat konsep spiritual didalamnya. Samâ' bisa dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk membimbing setiap Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika akal pikiran tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam ini ditempuh. Lewat samâ' , para dervishes atau darwis melakukan perjalanan mistis spiritual(3) menuju kesempurnaan, untuk meleburkan jiwanya kepada Tuhan(4). Dengan membuang segala ego, menghampiri kebenaran hingga tiba di gerbang kesempurnaan. 
 
Setelahnya, mereka kembali lagi sebagai seorang dengan tingkat kesempurnaan yang meningkat, sehingga mampu menebar cinta kepada seluruh makhluk ciptaan Tuhan tanpa membedakan keyakinan atau ras.

Dalam bukunya yang berjudul Sufism: A Short Introduction , William C. Chittick mengatakan bahwa tujuan samâ' adalah memperkuat dzikir(5) kepada Allah seraya mengobarkan api yang membakar habis segala sesuatu kecuali Dia. Bagi penari samâ' , musik adalah bahasa rahasia, tanda-tanda Tuhan yang bersinar dan dapat didengar. 

Ketika mendengar bahasa rahasia tersebut, jiwa manusia mengingat tempat kediaman asalnya, yakni hari alastu , ketika Tuhan mengadakan perjanjian dengan Adam dan keturunannya, dengan mengatakan, “Alastu bi rabbikum?”. “Bukankah Aku Tuhanmu?”, yang dijawab oleh mereka dengan: “ Ya! kami bersaksi .” (QS. 7:172).
Setidaknya ada tiga unsur penting yang menjadi karakteristik samâ': pikiran, hati (lewat ekspresi perasaan, puisi dan musik), dan tubuh (dengan menggerakan kehidupan lewat putaran). 

Terdapat rahsia tersembunyi dalam samâ'. Musik dan tari, masing-masing menyimpan muatan spiritual. Musik yang mengiringi merupakan media untuk membangkitkan gairah kalbu untuk mengingat Tuhan, yang bisa mengantarkan manusia ke dalam keadaan dzauk (keadaan dimana manusia merasakan cinta kepada Allah sedemikian besarnya, sehingga mereka ingin segera bertemu dengan Allah), kepada asal mereka sendiri dalam ‘ketiadaan'. 


Dari  Sudut Pandang Sains

Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dibangun dari kumpulan partikel atom. Di dalam atom terdapat elektron yang berputar mengitari intinya. Jika kita kaitkan, sesungguhnya seluruh benda di alam semesta ini dalam keadaan berputar. Hakikatnya manusia berputar karena ada atom di tubuhnya yang berputar menggerakkan sel sehingga darah dapat beredar. Kehidupan manusia pun berputar melewati beberapa fase. Dari tanah berputar melewati berbagai fase hidup, akhirnya kembali lagi menuju tanah. Demikian juga planet-planet berputar mengitari matahari. 

Dalam samâ', putaran tubuh mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi intinya menuju sang Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari sel terkecil hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta. Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu .” (QS. 64:1).  Bersambung...

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Jom Daftar Tambah Visitors

Free advertising

Entri Mereka Juga Menarik

Geng Baik