Punk bukan hanya soal rambut mohawk dengan cat merah muda, jaket kulit atau tatto bergambar tengkorak dibadan, tapi di Myanmar mereka berani mengkritik sikap warga Myanmar yang diam melihat kekerasan yang dialami umat Muslim disana.
Sekumpulan band Punk terang-
terangan menentang sami Buddha yang menjadi provokator kekerasan terhadap umat Islam di Myanmar. Mereka berani bersuara disaat warga Myanmar lain diam atas pembunuhan itu.
"Jika mereka benar-benar sami, aku akan tenang, tetapi mereka tidak," kata Kyaw Kyaw, vokalis kumpulan Punk Rebel Riot. Dia mengecam para sami dan gerakan anti-Muslimnya yang dikenali dengan nama "969."
"Mereka anggap diri mereka nasionalis, namun nyatanya fasis! Tidak seorang pun ingin mendengarnya, tapi itu benar. "Ujar Kyaw dilansir dari Todays Zaman, Selasa (06/8/2013).
Sami radikal berada di garis depan dalam kempen berdarah terhadap Muslim, dan hanya sedikit di bangsa ini yang majoriti beragama Budha dari 60 juta orang yang bersedia untuk bercakap melawan mereka. Bagi banyak orang, menjadi Buddha merupakan bahagian penting dari menjadi Myanmar, dan Biksu adalah anggota masyarakat yang paling terhormat, tidak tercela. Mereka menganggap umat Muslim sebagai "Orang Luar" dan ancaman bagi budaya dan tradisi Myanmar.
Kumpulan Punk lain mengatakan bahawa Umat Budha harus melihat kembali ajaran Budha sesungguhnya.
"Semua yang saya dapat katakan adalah, orang harus melihat pada ajaran Buddha dan bertanya pada diri sendiri, apakah ini ajaran Budha?" Kata Ye Ngwe Soe, vokalis dari band "No U Turn" beraliran punk rock yang paling popular di negara itu.
Dia bahkan menulis sebuah lagu yang berjudul "Perang Manusia", lagu ini dibuat setelah melihat kekerasan yang dialami Muslim Rohingya di negara bahagian Rakhine beberapa waktu lalu yang mulai menjalar ke daerah lain.
"Ketika saya pergi ke beberapa kawasan bandar, saya mendengar mereka bercakap tentang gerakan" 969 "dan membenci Muslim dengan melakukan kekerasan. Seharusnya tidak seperti ini. "Ungkap Ye Ngwe Soe lebih lanjut.
Menurut pemerhati cara terbaik untuk melawan pemikiran kekerasan orang-orang seperti Biksu Wirathu itu adalah dengan memberi ruang bagi warga myanmar lain yang anti kekerasan dan lebih mengedepankan sikap toleran.
Namun para Biksu dan aktivis awam yang anti kekerasan tidak cukup berani mengeluarkan suara dan pendapatnya ketika terjadi dialog lintas agama berkaitan permasalahan ini.
"Saya yakin banyak dari mereka fikir ini sesuatu yang sudah diluar batas kemanusiaan, tetapi mereka kebanyakan tidak berani mengatakan hal tersebut secara terbuka," kata Bertil Lintner, seorang wartawan Sweden yang telah menulis beberapa buku tentang Myanmar.
"Jika mereka melakukannya mereka akan diserang dengan dianggap tidak nasionalis, musuh agama, dan dituduh berteman dengan Muslim. ... Ini adalah situasi yang sangat sukar. "Ungkap Bertil.
Arker Kyaw, seorang seniman grafiti street art yang mempunyai teman Muslim yang sebahagiannya adalah pemuzik dan DJ juga menyatakan keprihatinannya atas kekerasan yang telah didera komuniti Muslim beberapa tahun ini.
Lewat video dan muzik Arker Kyaw mengumpulkan orang dari pelbagai latar belakang agama yang berbeza untuk mendedahkan perpaduan terhadap rakan muslim mereka.
"Jangan bimbang, sekurang-kurangnya antara kami, semuanya baik-baik saja," kata remaja berusia 20 tahun ini.
Tapi ketika ditanya apakah ia tidak tergoda untuk menjawab provokasi kumpulan "969" yang menyebarkan pelekat dan tanda-tanda di dinding seluruh Yangon dengan keahliannya sebagai seniman grafiti, ia menjawab, "Tidak. Ini sangat rumit, dalam hal ini, saya fikir lebih baik kita memantau saja, sekurang-kurangnya saya boleh mempengaruhi orang di sekeliling saya bahawa tindakan gerakan "969" ini tidak berperikemanusiaan dan intoleran. "[Islamedia]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan