| Putaran tubuh adalah tiruan alam raya, seperti planet-planet yang berputar | 
Tentang Whirling Dervishes
 Diriwayatkan oleh Sulthan   Awliya Quthubul Ghawts Mawlana Syaikh Muhammad Nazim Adil Al Qubrusi  An  Naqshabandi Al Haqqani yang diwakili oleh Mawlana Shaykh Muhammad   Hisham Kabbani An Naqshbandi Al Haqqani Ar Rabbani. Pada suatu hari   saat Sayyidina Rasulullah SAW khobah Jum'at, datanglah seorang Baduy   Arab seraya bertanya kepada Sayyidina Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah   SAW, kapankah kiamat itu datang?”. Sayyidina Rasulullah SAW tidak   menjawab, Beliau hanya diam. Baduy Arab itu terus bertanya sampai 3 kali   hingga Sayyidina Jibril a.s datang menghadap Sayyidina Rasulullah SAW   dan berkata, “Tanyakanlah padanya apakah bekal yang dia bawa untuk   menyambut hari kiamat itu?”. Lalu Sayyidina Rasulullah SAW   menyampaikannya dan orang Baduy Arab itu menjawab, “Bukankah aku   memiliki Cinta kepadaMu Ya Rasulullah SAW.” Dan Sayyidina Rasulullah   berkata, “Cukuplah itu membuatmu berdekatan dengan orang yang kau cintai   seperti dua jari yang berdekatan.”Dan seketika itu juga orang Baduy   Arab itu pergi tanpa mengikuti sholat jum'at.     
 
| Shaykh Hisham Kabbani memperlihatkan bagaimana Sayyidina Abu Bakar Shiddiq Whirling | 
Saat   mendengar percakapan itu, Sayyidina Abu Bakar Shiddiq RA(1) yang  selama  ini risau akan pertanyaan yang sama, bertanya kepada Sayyidina   Rasulullah SAW, “Ya Sayyidina Rasulullah SAW, apakah cukup hanya dengan   Cinta?”. Kemudian Sayyidina Rasulullah SAW menjawab, “Syarat yang utama   adalah Cinta!”. Mendengar jawaban itu, hati Sayyidina Abu Bakar  Shiddiq  ra sangat gembira, begitu bahagia hingga ia mulai berputar  dengan  jubahnya. Gerakan memutar inilah yang kemudian dikembangkan oleh  Mawlana  Jalaluddin Rumi menjadi Whirling Dervishes. 
Lalu tarian ini kembali  muncul  beberapa abad setelahnya, yang dilakukan oleh Mawlana Jalaluddin  Rumi,  seorang sufi yang juga merasakan cinta yang hampir sama kepada  gurunya  Mawlana Syamsuddin At-tibrizi, atau Syams-i-Tabriz. kemudian  tarian ini  terus dikembangkan oleh Thariqat Mawlawiyah atau Mevlevi,  yang kemudian  menjadi seni yang dipertontonkan keseluruh dunia. 
Walaupun tarian ini  mempunyai  makna yang dalam dan esensi spiritual yang tinggi, namun  dewasa ini,  tarian ini pun sudah kehilangan maknanya, hanya menjadi  penghias mata  belaka. Tetapi karena sejarah dari tarian ini tidak  sembarangan, maka  akan selalu indah untuk dilihat. Oleh karena itu kami  ingin mencoba  menyingkap rahasia dan hakikat yang sebenarnya dari  tarian ini. 
Islam adalah agama yang  penuh  dengan kedamaian. Dibuktikan dengan dari sekian banyaknya tradisi  dan  ajaran-ajaran –yang saat ini sudah mulai dilupakan dan  ditinggalkan–  salah satunya adalah tarian whirling dervish, tarian yang  dilakukan Atas  nama Cinta, Dengan Cinta dan Untuk membawa Cinta. 
Tarian Whirling Dervish  dapat  menarik siapa saja baik yang beragama islam atau yang tidak  beragama  islam. Karena Tarian ini memiliki keindahan putarannya yang  dapat  menyentuh kalbu lewat sentuhan spiritual yang tersirat di  dalamnya. 
Di  zaman sekarang, dimana islam sudah dianggap agama teroris,  dan tidak  lagi dipercaya sebagai agama pembawa kedamaian yang dibawa  oleh  Sayyidina Rasulullah Muhammad SAW. Penyelewengan ini memicu kami  untuk  menyingkap Hakekat dari agama yang penuh dengan Cinta Kasih ini,  lewat  berbagai jalan yang mampu membawa kedamaian dalam hati setiap  manusia.  Seperti islam yang tidak menyebar lewat satu jalan, namun  banyak jalan,  demikian pula dengan seni yang mengatasnamakan Cinta  Illahi. 
Nama tarian itu adalah Mevlevi Sema Ceremony atau lebih akrab disebut Sema   (dalam bahasa Arab berarti “mendengar”, atau jika diterapkan dalam   definisi lebih luas adalah bergerak dalam suka cita sambil mendengarkan   nada-nada musik sembari berputar-putar sesuai dengan arah putaran alam   semesta). Di Barat, tarian ini lebih dikenal sebagai “Whirling   Dervishes” atau para Darwis yang berputar, dan digolongkan sebagai divine dance.     
 
Mevlevi Sema Ceremony juga telah dikukuhkan oleh UNESCO sebagai salah satu karya agung dalam tradisi lisan yang tak ternilai harganya. Rumi dan Whirling Dervishes: Adalah satu tarikan nafas, seperti halnya Rumi dan puisi-puisinya. Goethe menyebut Rumi sebagai The greatest mystic poet of the world. 
Tentang ketokohan Rumi,   rasanya tak perlu dibahas lagi. Jika pengaruhnya masih demikian luas   setelah 800 tahun kepergiannya, manusia ini tentu luar biasa. William   Dalrymple menulis bahwa pada saat masyarakat AS dicekam horror Bin   Laden, ternyata buku puisi terlaris sepanjang 90-an bukanlah karya-karya   penulis besar AS semacam Robert Frost, Robert Lowell, tidak juga   karya-karya klasik raksasa Eropa seperti Shakespeare, Homer, Dante;   tetapi justru karya-karya Maulana Jalaluddin Rumi. Sedangkan Rumi sendiri “hanya” menyebut dirinya sebagai :     
 
I am dust on the path of Muhammad, the chosen one.. 
Saat ini nama Rumi dikenal cukup baik di Barat. Bahkan beberapa komunitas disana telah membentuk semacam perkumpulan Sema, yang bertemu setiap minggu untuk berdiskusi dan menarikan Whirling Dervishes. Komunitas ini terdapat di beberapa Negara Eropa seperti Swiss, Jerman, Belanda, dan AS.
Apakah mereka muslim? Tentu saja ya, karena sebagian besar penari Whirling beragama islam. Komunitas ini menangkap ajaran Rumi   atas nama kemanusiaan yang berketuhanan dan beragamakan cinta. Sufisme   yang mereka anut menjadi semacam liberal Sufism, bukan dalam konteks   ortodoksi & ortopraksi sufisme Islam. Bagi mereka, Rumi adalah sosok   yang telah membuka mata hati mereka, bahwa manusia dengan seluruh peradabannya hanyalah setitik debu di hadapan Tuhan.     
 
Senada dengan itu, kalangan Islam liberal juga kerap “mendewakan” Rumi   sebagai sosok pluralis. Mereka mengikuti petuah para pendekar   pluralisme, misalnya John Hick--seorang tokoh pluralisme agama--yang   kerap mengutip kata-kata Rumi : “ Lampu-lampu itu berbeda, tapi cahayanya sama, datang dari sumber yang sama…”     
Terkadang kata-kata dan argumen Rumi   dipakai oleh kalangan Islam liberal untuk menambah hujjah(2) mereka   bahwa pluralisme agama adalah sebuah keniscayaan yang tidak bertentangan   dengan ajaran Islam. Tentu saja hujjah ini dimaksudkan untuk  melemahkan  posisi argumen dari mereka yang berseberangan dengan para  liberalis.     
 
Sebaliknya, bagi mereka yang   agak konservatif (selain pengikut salaf), kerap menuding cara pandang   liberalis telah membajak karya Rumi untuk kepentingan ideologis mereka. Rumi dengan semua karyanya, hanya bisa dipahami di atas kerangka Al-Qur'an dan Hadist. Rumi yang telah dilucuti ke-Islam-annya adalah tak lebih dari Kahlil Gibran.     
 
Samâ' bukanlah sembarang  tarian,  melainkan tarian yang memuat konsep spiritual didalamnya. Samâ'  bisa  dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk membimbing setiap   Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika akal pikiran   tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam ini ditempuh.   Lewat samâ' , para dervishes atau darwis melakukan perjalanan mistis spiritual(3) menuju kesempurnaan, untuk meleburkan jiwanya kepada Tuhan(4). Dengan membuang segala ego, menghampiri kebenaran hingga tiba di gerbang kesempurnaan. 
 
Setelahnya, mereka kembali  lagi  sebagai seorang dengan tingkat kesempurnaan yang meningkat,  sehingga  mampu menebar cinta kepada seluruh makhluk ciptaan Tuhan tanpa   membedakan keyakinan atau ras.     
 
Dalam bukunya yang berjudul Sufism: A Short Introduction , William C. Chittick mengatakan bahwa tujuan samâ' adalah memperkuat dzikir(5) kepada   Allah seraya mengobarkan api yang membakar habis segala sesuatu  kecuali  Dia. Bagi penari samâ' , musik adalah bahasa rahasia,  tanda-tanda Tuhan  yang bersinar dan dapat didengar. 
Ketika mendengar bahasa rahasia tersebut, jiwa manusia mengingat tempat kediaman asalnya, yakni hari alastu , ketika Tuhan mengadakan perjanjian dengan Adam dan keturunannya, dengan mengatakan, “Alastu bi rabbikum?”. “Bukankah Aku Tuhanmu?”, yang dijawab oleh mereka dengan: “ Ya! kami bersaksi .” (QS. 7:172).
Ketika mendengar bahasa rahasia tersebut, jiwa manusia mengingat tempat kediaman asalnya, yakni hari alastu , ketika Tuhan mengadakan perjanjian dengan Adam dan keturunannya, dengan mengatakan, “Alastu bi rabbikum?”. “Bukankah Aku Tuhanmu?”, yang dijawab oleh mereka dengan: “ Ya! kami bersaksi .” (QS. 7:172).
Setidaknya ada tiga unsur   penting yang menjadi karakteristik samâ': pikiran, hati (lewat ekspresi   perasaan, puisi dan musik), dan tubuh (dengan menggerakan kehidupan   lewat putaran). 
Terdapat rahsia tersembunyi   dalam samâ'. Musik dan tari, masing-masing menyimpan muatan spiritual.   Musik yang mengiringi merupakan media untuk membangkitkan gairah kalbu   untuk mengingat Tuhan, yang bisa mengantarkan manusia ke dalam keadaan  dzauk (keadaan  dimana manusia merasakan cinta kepada Allah  sedemikian besarnya,  sehingga mereka ingin segera bertemu dengan  Allah), kepada asal mereka  sendiri dalam ‘ketiadaan'. 
Dari Sudut Pandang Sains
Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini dibangun dari kumpulan partikel atom. Di dalam atom terdapat elektron yang berputar mengitari intinya. Jika kita kaitkan, sesungguhnya seluruh benda di alam semesta ini dalam keadaan berputar. Hakikatnya manusia berputar karena ada atom di tubuhnya yang berputar menggerakkan sel sehingga darah dapat beredar. Kehidupan manusia pun berputar melewati beberapa fase. Dari tanah berputar melewati berbagai fase hidup, akhirnya kembali lagi menuju tanah. Demikian juga planet-planet berputar mengitari matahari.
Dalam samâ', putaran tubuh   mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi intinya menuju sang   Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari sel terkecil   hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta.   Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada   Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah   yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas   segala sesuatu .” (QS. 64:1).  Bersambung...
Tiada ulasan:
Catat Ulasan